SOPIR truk boks itu makin tenar saja namanya sebagai penulis di dunia maya. Dialah Iqbal Aji Daryono (36) putra Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang kini bermukim di Perth, Australia, karena mendampingi istrinya yang tengah menempuh studi doktoral.
"Ini tulisan pertama saya di Detik. Sekaligus Detik meminta saya untuk ngisi pengajian tetap setiap Selasa, dengan nama rubrik "Sentilan Iqbal Aji Daryono". (Entah kenapa mereka pilih nama itu, padahal mestinya lebih cocok "Ratapan Iqbal".)," tulis Iqbal di timeline Facebook-nya, untuk esainya Siapa Bilang Agama tak Perlu Dibela?, yang tayang di Detik.com, situs berita online terbesar di Indonesia, Selasa (22/11/2016).
Sebenarnya, meroketnya nama alumni Jurusan Sastra Jepang Universitas Gadjah Mada (UGM) itu sebagai penulis bukan hal baru. Di jagat media sosial, namanya sudah tenar sejak dua-tiga tahun silam. Di akun Facebook-nya, tulisan-tulisan Iqbal selalu disambut ratusan like, komentar, dan share.
Kini, kuota 5 ribu pertemanan untuk akun Facebook-nya telah terpenuhi. Orang yang baru mengenalnya tak lagi bisa add friend (menambahkan sebagai teman) padanya. Tak heran, pengikut (follower) di akun Facebook Iqbal telah mencapai 24,686 orang per Jumat (25/11/2016) siang.
Posting pertama artikelnya di Detik.com via Facebook itu disambut ribuan komentar, like, share, dan ucapan selamat padanya. "Bal, selamat ya makin populer sebagai penulis publik," ucap saya, melalui aplikasi messenger, Rabu (23/11/2016).
"Hahaha, Asem, penulis jalur pop," balas Iqbal.
Pengalaman keseharian
Artikel Iqbal ditulis dengan gaya yang ringan, bertutur, dan seringkali bertolak dari pengalaman kesehariannya. Dari situ sering ia membicarakan isu publik yang kontroversial, namun berbobot dan banyak disukai, walau tak sedikit pula yang mengritiknya.
Dalam tulisan pertama di Detik.com itu, papa muda satu anak tersebut mengajak pembacanya membela Islam dengan cara yang simpatik. "Jangan salahkan saya jika saya terpesona kepada para lelaki berkaus hijau yang foto mereka melintas di dinding Facebook saya," tulis Iqbal.
Bapak-bapak itu, menurut dia, adalah anggota Relawan Pembersih Masjid (RPM) At-Taqwa, Samarinda, Kalimantan Timur. ''Mereka sedang membantu membereskan dan memperbaiki Gereja Oikumene, pada bekas ledakan bom molotov yang menghajar gereja itu, sekaligus memakan korban mengenaskan seorang balita mungil bernama Intan Olivia," bebernya.
Dari tulisan-tulisan ringannya itu, Iqbal pun telah menerbitkan sebuah buku berjudul Out of The Truck Box: Petualangan Seorang TKI Sopir Truk di Australia dan Lamunan-lamunan Liarnya Mei 2015. Sebagian besar dari tulisan di buku itu berasal dari torehannya di Facebook, dan sebuah situs opini populer, Mojok.co.
Ya, dalam perkembangannya, Iqbal juga menuai popularitas sebagai netizen melalui situs yang didirikan oleh sastrawan Puthut EA. Artikelnya yang berjudul Surat Terbuka kepada Pemilih Jokowi Sedunia yang diposting Mojok.co pada 25 November 2014, menembus lebih dari 500 ribu pembaca. Artikel ini pula yang menjadi judul buku kumpulan tulisan terpilih Mojok pada 2015.
Iqbal memang hanya satu potret dari munculnya banyak penulis-penulis tenar yang berawal sebagai netizen aktif di media sosial, dan blogger di masa sebelumnya. Di Mojok sendiri, ada sejumlah nama lain, salah satunya Agus Mulyadi.
Agus yang pendidikan formalnya hanya lulusan SMA itu juga dikenal sebagai blogger ngetop.
Media online baru
Kelahiran penulis-penulis populer tersebut belakangan juga disertai dengan munculnya jenis media online baru. Mereka menyajikan konten opini, bukan produk jurnalistik, namun dengan akurasi yang ketat.
Selain Mojok, ada beberapa situs sejenis, meski dengan gaya menulis berbeda, yang banyak dirujuk pembaca online. Sebutlah, misalnya, Geotimes, Voxpop. Belakangan, media online yang lebih mengandalkan produk jurnalistik pun mulai mengakomodasi penulis-penulis opini ini. Seperti Detik.com, dan Tirto.id yang menjadi Iqbal sebagai salah seorang kolumnisnya.
Gilang Desti Parahita, peneliti Digi Journalism, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, punya komentar. Menurut dia, kehadiran penulis dan situs-situs opini populer itu menjadi alternatif atas konten jurnalisme online mainstreams, yang kurang mengakomodasi keberagaman aspirasi publik.
"Jadi, karena alternatif, banyak perspektif, banyak kelompok masyarakat, yang merasa harus diwakili suaranya. Maka, yang muncul beragam sekali," ujar Gilang.
Pemerkuat sikap
Namun, menurut dia, ada penjelasan lain. Teori yang sangat klasik bahwa orang tidak akan mengakses media yang memiliki pandangan jauh berbeda dengan dirinya. Ketika dia mengakses media, membutuhkan media yang memperkuat sikapnya.
''Bukan untuk mengetes hipotesisnya. Ini sebenarnya juga berlaku di media konvensional," beber dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UGM itu.
Gilang menambahkan, di media online kecenderungan pembaca yang membutuhkan media sesuai seleranya memang lebih tampak. Hal ini juga karena pengaruh media sosial.
"Orang kita sangat bangga ketika menge-share berita yang menurut dia menarik, dan orang lain belum menge-share-nya di media sosial, meskipun kita tidak tahu kontennya betul, valid atau tidak. Jadi, ada kebanggaan bahwa dirinya terlebih dahulu menge-share konten tersebut," jelasnya.
Iqbal Aji Daryono pun menyadari kepopuleran media online jenis baru ini terkait mesra dengan media sosial (medsos). "Menurutku, sebelum era medsos, publik pembaca selalu mengakses opini-opini secara satu arah, monolog," katanya.
Sifat satu arah itu menciptakan sebuah jarak psikologis tertentu. ''Ada batasan yang tidak bisa ditembus antara penulis dan pembaca. Mereka tidak kenal, dan penulis berada di 'alam lain' yang sulit digapai pembaca," ujar Iqbal pada Borneonews melalui Whatsapp. (Budi Baskoro/*)
Sumber: Tabloid Borneonews Minggu Edisi 27 November 2016 dan di website Borneonews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar