Moncong senapan
serdadu Bolivia itu tak lebih sekilan jaraknya dari dahi lelaki itu. Sekali
pelatuk ditarik, pastilah kepalanya tertembus peluru dan ia akan meregang
nyawa. Tetapi, lelaki itu buru-buru berkata,” Jangan tembak...aku Che. Aku
lebih berharga bagimu, jika aku hidup dari pada mati...” Itu adalah
penggalan cerita detik-detik penangkapan Che Guevara, yang diilustrasikan
dengan memikat di awal buku berbentuk komik ini.
Che Guevara, sosok pejuang pemberontak asal Argentina
yang telah melegenda, itu memang begitu berharga, hidup atau mati. Pemerintah
Bolivia kala itu (1967), menjanjikan lima ribu dollar untuk kepala Che. Tetapi,
bukan karena itu, ilustrasi ending cerita perjuangan Che Guevara diletakkan
pada bagian awal buku ini. Mungkin itu sekadar intro, betapa proses kematian
Che Guevara, hingga kini, masih menjadi sejuta tanya bagi semua—tentu tidak
bagi pelaku penembaknya. Atau, memang beginilah pantasnya cara komik berkisah:
alur yang paling seru—perang lantas penangkapan—ditampilkan di muka demi
memikat pembaca. Yang pasti, setelah itu, kronologi cerita buku ini menjadi berarti,
terutama bagi kita yang sekadar tahu tentang Che Guevara dari oblong atau topi
a la Che, yang acap dikenakan anak muda masa kini.
Dalam buku ini, Che digambarkan sebagai seorang pemuda
gerilyawan yang patriotik dan heroik. Alasan atas apa yang dilakukannya ialah
demi satu kata: kebebasan. Kebebasan rakyat dari jerat diktator penguasa dan
kemiskinan di Amerika Latin. Ya, penguasa diktator yang datang silih-berganti
serta problem kemiskinan memang selalu mewarnai daratan yang menjadi backyard negeri
Paman Sam itu. Dalam konteks seperti inilah, sosok Che dalam buku ini kian
hidup.
Lebih dari itu, kehidupan dalam keluarga Che juga turut
menghidupkan semangat heroismenya. Che terlahir dari keluarga kelas menengah
yang bersikap oposan terhadap Peron, diktator populis yang memimpin Argentina
masa itu. Dan sang ayah berkata pada Che kecil serta adik-adiknya: “Anak-anak,
hidup ini penuh dengan misteri dan bahaya. Hal yang paling penting dari
semuanya adalah kebebasan. Jangan pernah menyerahkan itu. Dan untuk
mempertahankannya, kalian nanti harus mengorbankan banyak hal. Tapi, jika
kalian kehilangan kebebasan maka hidup kalian akan penuh dengan
penderitaan...”(hal. 23).
Maka sosok muda Che kian mempesona dengan kegemarannya
berkelana di seantero Amerika Latin. Pengelanaan itu menyibak kesadaran hatinya
tentang pelbagai persoalan kemanusiaan di benua yang diaku sebagai temuan
Colombus itu. Soal kemiskinan, soal ketertindasan. Guatemala, sebuah negeri di
Selatan Meksiko adalah negeri di mana kali pertama seorang asing Che, terlibat
dalam sebuah gerakan revolusioner menentang penguasa. Sejak itu, namanya kian
tenar, hingga membawanya pada perjumpaan yang menyenangkan dengan Fidel Castro,
seraya bersiasat untuk membebaskan negeri Kuba dari diktator Batista. Maka, tak
ada pilihan lain kecuali memenangkan revolusi!
Barangkali, nama Che Guevara tak terus mengudara apalagi
melegenda, jika aksi revolusionernya selalu tertumbuk pada kekalahan. Tapi,
bersama Castro, dengan melakukan gerakan revolisioner lewat taktik gerilya dan
didukung oleh masyarakat kelas petani Kuba, Che beroleh kemenangan dengan
gemilang. Kemenangan, yang sudah tentu, membanggakan dan karena ini ia
dianugrahi status sebagai warga negara Kuba. Namun, kemenangan ini sekaligus
menghadapkannya pada tantangan baru, bagaimana membawa Kuba keluar dari jerat
kemiskinan dan ketertundukan dari negeri asing.
Pasca kemenangan revolusioner Kuba, sebenarnya, merupakan
fase menarik di mana kita seharusnya memandang Che Guevara secara kritis dari
sisi manapun. Tapi, buku ini menegaskan sosok Che sebagai seorang gerilyawan
tulen. Seorang sosok yang patriotik lantaran panggilan moral dan nurani. Tidak
lebih. Sebab itu, walau sempat sedikit disinggung, kegagalan konsep ekonomi Che
demi mempercepat capaian idustrialisasi di Kuba tak diulas panjang-lebar.
Toh memang, keberadaan Che
sebagai seorang gerilyawan yang kemudian juga berhasil men-teorisasikan perihal
gerilya itu, layak dihargai tinggi-tinggi. Selain melakukan tur demi menghimpun
kekuatan negeri-negeri underdeveloped, selama di Kuba,
Che Guevara sukses menelurkan buku The War of
Guerrillas dan sebuah esai, Notes
for the Study of Cuban Revolution Ideology. Namun,
bagaimana pula kita harus mengkritik kegagalan Che dalam keterlibatannya dengan
pemberontakan di Bolivia pada 1967. Satu yang tidak terjawab oleh buku ini,
mengapa—berbeda halnya dengan yang terjadi di Kuba—petani-petani di pedalaman
Bolivia tak mendukung para gerilyawan, hingga Che kalah dan menutup cerita
kepahlawanannya di sana?
Buku ini, sekali lagi, memang menampilkan Che bak hero.
Atau, jika boleh saya menyebut analogi lain, yang mungkin setara dengan cara
pandang buku ini, Che adalah seorang aktivis pejuang yang berlaku seperti
koboi, sebagaimana dibayangkan Soe Hok Gie. Koboi yang datang kala masyarakat
butuh bantuan melawan perusuh. Koboi yang kemudian pergi ketika perusuh telah
dituntaskan.
Walau begitu, ilustrasi yang memikat dan dengan
menggunakan bahasa yang renyah dan agak gaul—karena ini pula mungkin buku ini
laris dan telah dicetak tiga edisi sejak cetakan pertama pada Agustus
2003—cukuplah bagi sang pemula untuk mulai mengenali Che. Paling tidak, mereka
tak perlu asing dengan sosok yang terpampang pada oblong yang mungkin mereka
kenakan.
(Aslinya, tulisan ini dibuat untuk dan telah
diterbitkan oleh Buletin Ecorner, Media Antarkampus, pada 2003 di Yogyakarta.
Ditampilkan lagi di sini sekadar sebagai pengarsipan. Menyenangkan kalau tetap
ada yang membacanya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar