Ada empat syarat untuk disebut sebagai Dayak: tahu cerita-cerita masyarakat Dayak, bisa berbahasa Dayak, bisa menyanyi Dayak dan bisa menari Dayak.
Itu jawaban Dr. Nico Andasputra, peneliti dan aktivis Institut Dayakologi Pontianak, ketika ditanya seorang peserta perihal pengertian tegas tentang Dayak, dalam diskusi “Melestarikan Identitas Budaya Dayak dalam Lingkup Nusantara di Era Globalisasi” di Pusat Kebudayaan Kusnadi Hardjasoemantri, UGM, Yogyakarta Sabtu pagi (23/10) lalu.
Diskusi ini merupakan salah satu mata acara Pesta Seni Budaya Dayak Se-Kalimantan ke VIII, 21 – 23 Okotober. Selain Nico, juga hadir sebagai pembicara Drs. Rizal Mustansyir, M.Hum (Dosen Filsafat UGM yang juga berasal dari Kalimantan Barat) dan Alexander Yan Sukanda, aktivis Dayak dari Ketapang, Kalimantan Barat.
Kegelisahan tentang jati diri dan terancamnya kebudayaan Dayak mengemuka dalam diskusi ini. Forum ini juga seperti berusaha menolak stigma lama yang dilekatkan terhadap masyarakat Dayak, di mana masyarakat beridentitas Dayak didefinisikan sebagai masyarakat pedalaman, primitif, non-Muslim, masyarakat yang hitam-kriting-berekor, dsb.
Kegelisahan itu sejatinya bukan hal yang baru di kalangan pemerhati dan aktivis Dayak. Dan, sebetulnya, pun sudah banyak upaya melawan konstruksi-konstruksi dominatif tersebut yang dilakukan oleh kalangan masyarakat Dayak itu sendiri. Misalnya, seperti kata Nico, saat ini sudah muncul kelompok masyarakat Dayak Muslim. Bahkan, mereka sudah memiliki perkumpulan sendiri.
Tetapi, kegelisahan demikian tak akan pernah berakhir. Proses menjadi Dayak, seperti juga menjadi Indonesia—sebagaimana juga diungkapkan moderator di awal diskusi ini—akan terus berlangsung. Persoalannya, bagaimana agar proses tersebut tidak meniadakan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Dalam hal ini, komunitas Dayak memang punya pengalaman pahit. Dijelaskan Nico, ancaman terhadap eksistensi kebudayaan Dayak berlangsung sejak empat puluh tahun silam, ketika Orde Baru mulai berkuasa. Ujarnya, Orde Baru menjadi biang masalah karena kebijakan utamanya mengintegrasikan diri dengan globalisasi, di mana globalisasi itu disetir oleh paham neoliberalisme, yang bersifat eksploitatif terhadap alam-lingkungan Dayak demi keuntungan negara maju. Selain itu, globalisasi ini juga cenderung menyeragamkan kebudayaan masyarakat. Bagi masyarakat Dayak, pemberangusan rumah-rumah panjang (betang) dengan menempatkan masyarakat Dayak pada rumah-rumah individu, merupakan contoh pemberangusan tradisi komunal masyarakat Dayak. Sementara itu, hutan dan lahan hidup masyarakat Dayak kini tidak lagi kompatibel dengan tradisi mereka akibat proses deforestasi secara massif.
Lalu, apa yang mesti dilakukan untuk menyelamatkan identitas budaya Dayak? Baik Nico, Rizal dan Alex, sama-sama bersepakat untuk menengok kembali unsur kearifan lokal (local wisdom) yang (pernah) ada pada masyarakat Dayak. Nilai-nilai kearifan lokal dinilai relevan untuk mengatasi problem masyarakat lokal, dalam hal ini Dayak. Seperti yang dijelaskan Nico, local wisdom dari para leluhur Dayak, itu tak lagi banyak diketahui oleh generasi muda Dayak kini. Pembangunan sejak Orde Baru tak mengakomodasi proses pewarisan nilai-nilai luhur budaya lokal. Kurikulum pendidikan cenderung seragam, sehingga yang dipelajari melulu cerita-cerita besar, seperti tentang sejarah Majapahit, Sriwijaya, dsb., semata. Untuk menghadapi kendala itu, Nico lewat Institut Dayakologi, aktif melakukan inventarisasi warisan-warisan budaya masyarakat Dayak di berbagai tempat di Kalimantan. Mereka mencoba mendokumentasikan sejarah lisan, cerita-cerita rakyat, yang didalamnya terkandung banyak muatan nilai-nilai penting bagi kehidupan orang Dayak dan dianggap relevan hingga kini.
Relevansi warisan budaya lokal juga diuraikan oleh Rizal Mustansyir. Dalam kesempatan itu, Rizal menjelaskan pengalaman risetnya tentang dukun atau yang di komunitas Dayak Kalimantan Barat dikenal dengan sebutan shaman, balian, balin dsb. Dijelaskan Rizal, dalam ritus-ritus aktivitas shaman dan proses perekrutan shaman baru, didapati sejumlah kecerdasan lokal, yang bila diukur dengan metode psikologi modern, bisa jadi para shaman tersebut memiliki kecerdasan melebihi para psikolog dan dokter-dokter modern. Kecerdasan dalam aktivitas seorang Shaman meliputi linguistic intelligence, logical-mathematical intelligence, musical intelligence, bodily-kinesthetic intelligence, spatial intelligence, inter and intrapersonal intelligence.
Usaha-usaha menggali dan mempelajari kembali kearifan lokal yang ada sejak dahulu memang harus dilakukan. Lebih dari itu, saya ingin berkomentar, agar tak disebut sebagai sikap reaktif belaka, menengok kembali kearifan lokal ini selayaknya disadari sebagai usaha mengkreasi atau mencipta kebudayaan. Dalam hal ini, para peneliti, pengkaji, pegiat budaya dipahami sebagai agen kebudayaan, bukan recipient (penerima) kebudayaan semata (Kleden: 1987). Sedikit berbeda dengan tema diskusi itu, dalam kerangka sebagai agen kebudayaan ini, sebenarnya, saya lebih sependapat bahwa para agen kebudayaan itu sedang berusaha “mengembangkan”, bukan “melestarikan” kebudayaan. Kata “mengembangkan” kebudayaan bermakna lebih aktif, dinamis dan hidup dibanding “melestarikan” kebudayaan. Kata melestarikan hanya pas digunakan pada hal-hal yang bersifat kebendaan, artefak. Sedangkan produk kebudayaan bukan semata yang bersifat kebendaan.
Mengembangkan kebudayaan memang memerlukan pemahaman—dengan menggali dan mempelajari kembali— akar budaya masa lalu untuk kemudian diterapkan dan disesuaikan dengan konteks masa kini. Dalam pengertian ini, jebakan pada sikap meromantisasi masa lalu mestinya dapat terhindarkan. Terhindar dari sikap meromantisasi budaya masa lalu adalah sikap untuk tidak menganggap semua hal yang datang dari masa lalu secara otomatis baik dan relevan. Artinya, harus dilihat bahwa memang banyak dari warisan nilai, tradisi masa lalu masih relevan untuk kepentingan hari ini, namun juga harus dipahami bahwa terdapat unsur dari masa lalu yang tak selalu relevan lagi kini. Pengembangan kebudayaan, dengan demikian, harus tetap berakar pada tradisi masa lalu, tapi sekaligus juga bersikap kritis terhadapnya.
Itu jawaban Dr. Nico Andasputra, peneliti dan aktivis Institut Dayakologi Pontianak, ketika ditanya seorang peserta perihal pengertian tegas tentang Dayak, dalam diskusi “Melestarikan Identitas Budaya Dayak dalam Lingkup Nusantara di Era Globalisasi” di Pusat Kebudayaan Kusnadi Hardjasoemantri, UGM, Yogyakarta Sabtu pagi (23/10) lalu.
Diskusi ini merupakan salah satu mata acara Pesta Seni Budaya Dayak Se-Kalimantan ke VIII, 21 – 23 Okotober. Selain Nico, juga hadir sebagai pembicara Drs. Rizal Mustansyir, M.Hum (Dosen Filsafat UGM yang juga berasal dari Kalimantan Barat) dan Alexander Yan Sukanda, aktivis Dayak dari Ketapang, Kalimantan Barat.
Kegelisahan tentang jati diri dan terancamnya kebudayaan Dayak mengemuka dalam diskusi ini. Forum ini juga seperti berusaha menolak stigma lama yang dilekatkan terhadap masyarakat Dayak, di mana masyarakat beridentitas Dayak didefinisikan sebagai masyarakat pedalaman, primitif, non-Muslim, masyarakat yang hitam-kriting-berekor, dsb.
Kegelisahan itu sejatinya bukan hal yang baru di kalangan pemerhati dan aktivis Dayak. Dan, sebetulnya, pun sudah banyak upaya melawan konstruksi-konstruksi dominatif tersebut yang dilakukan oleh kalangan masyarakat Dayak itu sendiri. Misalnya, seperti kata Nico, saat ini sudah muncul kelompok masyarakat Dayak Muslim. Bahkan, mereka sudah memiliki perkumpulan sendiri.
Tetapi, kegelisahan demikian tak akan pernah berakhir. Proses menjadi Dayak, seperti juga menjadi Indonesia—sebagaimana juga diungkapkan moderator di awal diskusi ini—akan terus berlangsung. Persoalannya, bagaimana agar proses tersebut tidak meniadakan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Dalam hal ini, komunitas Dayak memang punya pengalaman pahit. Dijelaskan Nico, ancaman terhadap eksistensi kebudayaan Dayak berlangsung sejak empat puluh tahun silam, ketika Orde Baru mulai berkuasa. Ujarnya, Orde Baru menjadi biang masalah karena kebijakan utamanya mengintegrasikan diri dengan globalisasi, di mana globalisasi itu disetir oleh paham neoliberalisme, yang bersifat eksploitatif terhadap alam-lingkungan Dayak demi keuntungan negara maju. Selain itu, globalisasi ini juga cenderung menyeragamkan kebudayaan masyarakat. Bagi masyarakat Dayak, pemberangusan rumah-rumah panjang (betang) dengan menempatkan masyarakat Dayak pada rumah-rumah individu, merupakan contoh pemberangusan tradisi komunal masyarakat Dayak. Sementara itu, hutan dan lahan hidup masyarakat Dayak kini tidak lagi kompatibel dengan tradisi mereka akibat proses deforestasi secara massif.
Lalu, apa yang mesti dilakukan untuk menyelamatkan identitas budaya Dayak? Baik Nico, Rizal dan Alex, sama-sama bersepakat untuk menengok kembali unsur kearifan lokal (local wisdom) yang (pernah) ada pada masyarakat Dayak. Nilai-nilai kearifan lokal dinilai relevan untuk mengatasi problem masyarakat lokal, dalam hal ini Dayak. Seperti yang dijelaskan Nico, local wisdom dari para leluhur Dayak, itu tak lagi banyak diketahui oleh generasi muda Dayak kini. Pembangunan sejak Orde Baru tak mengakomodasi proses pewarisan nilai-nilai luhur budaya lokal. Kurikulum pendidikan cenderung seragam, sehingga yang dipelajari melulu cerita-cerita besar, seperti tentang sejarah Majapahit, Sriwijaya, dsb., semata. Untuk menghadapi kendala itu, Nico lewat Institut Dayakologi, aktif melakukan inventarisasi warisan-warisan budaya masyarakat Dayak di berbagai tempat di Kalimantan. Mereka mencoba mendokumentasikan sejarah lisan, cerita-cerita rakyat, yang didalamnya terkandung banyak muatan nilai-nilai penting bagi kehidupan orang Dayak dan dianggap relevan hingga kini.
Relevansi warisan budaya lokal juga diuraikan oleh Rizal Mustansyir. Dalam kesempatan itu, Rizal menjelaskan pengalaman risetnya tentang dukun atau yang di komunitas Dayak Kalimantan Barat dikenal dengan sebutan shaman, balian, balin dsb. Dijelaskan Rizal, dalam ritus-ritus aktivitas shaman dan proses perekrutan shaman baru, didapati sejumlah kecerdasan lokal, yang bila diukur dengan metode psikologi modern, bisa jadi para shaman tersebut memiliki kecerdasan melebihi para psikolog dan dokter-dokter modern. Kecerdasan dalam aktivitas seorang Shaman meliputi linguistic intelligence, logical-mathematical intelligence, musical intelligence, bodily-kinesthetic intelligence, spatial intelligence, inter and intrapersonal intelligence.
Usaha-usaha menggali dan mempelajari kembali kearifan lokal yang ada sejak dahulu memang harus dilakukan. Lebih dari itu, saya ingin berkomentar, agar tak disebut sebagai sikap reaktif belaka, menengok kembali kearifan lokal ini selayaknya disadari sebagai usaha mengkreasi atau mencipta kebudayaan. Dalam hal ini, para peneliti, pengkaji, pegiat budaya dipahami sebagai agen kebudayaan, bukan recipient (penerima) kebudayaan semata (Kleden: 1987). Sedikit berbeda dengan tema diskusi itu, dalam kerangka sebagai agen kebudayaan ini, sebenarnya, saya lebih sependapat bahwa para agen kebudayaan itu sedang berusaha “mengembangkan”, bukan “melestarikan” kebudayaan. Kata “mengembangkan” kebudayaan bermakna lebih aktif, dinamis dan hidup dibanding “melestarikan” kebudayaan. Kata melestarikan hanya pas digunakan pada hal-hal yang bersifat kebendaan, artefak. Sedangkan produk kebudayaan bukan semata yang bersifat kebendaan.
Mengembangkan kebudayaan memang memerlukan pemahaman—dengan menggali dan mempelajari kembali— akar budaya masa lalu untuk kemudian diterapkan dan disesuaikan dengan konteks masa kini. Dalam pengertian ini, jebakan pada sikap meromantisasi masa lalu mestinya dapat terhindarkan. Terhindar dari sikap meromantisasi budaya masa lalu adalah sikap untuk tidak menganggap semua hal yang datang dari masa lalu secara otomatis baik dan relevan. Artinya, harus dilihat bahwa memang banyak dari warisan nilai, tradisi masa lalu masih relevan untuk kepentingan hari ini, namun juga harus dipahami bahwa terdapat unsur dari masa lalu yang tak selalu relevan lagi kini. Pengembangan kebudayaan, dengan demikian, harus tetap berakar pada tradisi masa lalu, tapi sekaligus juga bersikap kritis terhadapnya.
3 komentar:
apakah dengan sikap seperti itu bisa membuat suku dayak tambah terbelakangkan.....atau dengan adanya perkumpulan2 itu bisa membuatnya lebih maju??? apalagi dengan membawa nama ras...masih belum terlalu paham sich dengan idealis antar suku,,,soalnya untuk mengatas namakan idealis sendiri aja masih sulit..ehehhe
Nice Share...
Saya sdh follow , saya tunggu follow baliknya ya ...
Mampir balik ya..
Http://mal-amal.blogspot.com
Posting Komentar