KPU Provinsi Kalimantan Tengah telah menetapkan pasangan Agustin Teras Narang – Ahmad Diran, memenangi pemilu kada Kalimantan Tengah yang berlangsung 5 Juni lalu. Kalteng Pos Edisi 16 Juni memberitakan, pasangan Teras – Diran meraup 433.007 suara atau 42,28%. Pesaing terkuatnya, pasangan Ahmad Amur – Baharudin Lisa memperoleh 385.825 suara [37,66%]. Disusul Achmad Yuliansyah – Didik Salmijardi dengan 191.520 suara [15,77%] dan Yuandrias Basuki diposisi bontot dengan perolehan 43.997 suara [4,29%].
Bagaimana menjelaskan hasil pemilu kada itu?
Penjelasan yang paling digemari dan kerap didengar dalam pemilu kada ini adalah penjelasan yang berbasiskan identitas. Penjelasan ini mengasumsikan adanya hubungan emosional berdasarkan persepsi tentang kesamaan identitas tertentu di antara pemilih dan kandidat pasangan gubernur dan wakilnya. Pemilih dianggap akan menentukan pilihannya berdasarkan kesamaan identitas tersebut. Dari pihak kandidat-kandidat yang saling bertarung pun, strategi politik identitas tersebut sangat nyata terlihat.
Dosen Fisipol UGM, Arie Setyaningrum [2006] menjelaskan, politik identitas mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas [baik identitas politik maupun identitas sosial] sebagai sumber daya dan sarana politik. Dalam kasus pemilu kada Kalteng itu terlihat dari komposisi pasangan calon yang mengidentifikasikan diri sebagai pasangan Dayak & Jawa, pasangan Muslim atau pasangan Nasrani & Muslim. Secara verbal, misalnya, Pasangan Amur – Bahar memasang tag line “Pasangan Yang Disepakati Umat”. Sementara dalam debat kandidat yang ditayangkan Metro TV, pasangan Yuandrias – Basuki mengenakan pakaian adat Dayak dan Jawa. Yuandrias mengenakan ikat kepala yang disisipi bulu burung enggang. Sementara Basuki mengenakan blangkon dan busana sorjan khas Jawa. Ini adalah sedikit contoh yang tampak, bagaimana pengorganisasian politik identitas dilakukan.
Berdasarkan asumsi politik identitas pula, pasangan Amur – Bahar yang mengidentifikasikan dirinya sebagai representasi masyarakat Muslim diperkirakan akan mampu mengalahkan atau menyulitkan pasangan incumbent Teras – Diran sebelum pemilu kada berlangsung. Pasar suara Muslim cukup besar di Provinsi ini, mencapai lebih-kurang 70%. Tapi, mengapa Amur – Bahar hanya memperoleh 37% suara? Mungkin kita akan segera berkesimpulan bahwa pasar suara untuk Amur – Bahar sebagian terbelah untuk pasangan Ahmad Yuliansyah – Didik Salmijardi, yang juga pasangan Muslim. Tetapi, jika asumsi politik identitas agama ini tetap dipertahankan, jumlah suara pasangan Amur – Bahar dan Yuliansyah – Didik hanya berkisar 53% saja. Ke mana 17% suara Muslim lainnya?
Fakta ini tampaknya menegaskan bahwa [proyeksi] identitas, tidak definif sifatnya. Tidak juga bisa disederhanakan dengan satu asumsi dan satu penjelasan saja. Identitas yang tersandang pada orang atau kelompok tertentu tidaklah tunggal. Seseorang pada saat yang sama bisa menyandang banyak identitas, etnis, agama, daerah dengan bahasa tertentu, dsb. Dan, jikapun faktor identitas ini dianggap menentukan, maka situasi tertentulah yang akan membuat orang memilih menggunakan identitasnya sebagai salah satu faktor petimbangan dalam menentukan pilihan.
Dalam hal ini, Amur – Bahar sepertinya kurang cermat dalam memperhitungkan permainan politik identitas di Kalteng. Data di atas bisa dibaca bahwa pengasumsian Muslim dan Non-Muslim saja tidak cukup. Ada identitas lain yang harus diperhitungkan selain identitas agama semata. Etnis salah satunya. Ada tiga etnis besar di Kalimantan Tengah, Dayak, Banjar dan Jawa. Di Kalteng, pemeluk Muslim tersebar pada tiga etnis tersebut. Amur – Bahar sepertinya kurang cermat memperhitungkan etnis Jawa. Inilah satu-satunya pasangan yang komposisi identitas etnis dan agamanya sama. Sama-sama Muslim dan sama-sama mengidentifikasi sebagai Dayak. Dari pembacaan semacam ini, maka potensi suara mereka hanya datang dari masyarakat Dayak Muslim dan Banjar, yang mungkin merasa terwakili karena sama-sama Muslim. Itu pun terbukti, potensi suara tersebut tidak bisa mendekati bulat mendukung mereka.
Dugaan saya, pasangan Teras – Diran memenangkan suara dari etnis Jawa. Kendati kalah oleh Amur – Bahar di tiga kabupaten dengan suara terbesar [Kotawaringin Timur, Kapuas & Kotawaringin Barat], tapi di sana pasangan Teras – Diran memperoleh suara yang cukup besar dan signifikan bagi akumulasi perolehan suaranya. Di tiga daerah itu Teras – Diran memperoleh lebih dari 30% suara. Jika melihat representasi identitas Dayak dari sosok Teras Narang yang kurang menjual, khususnya di daerah Kotawaringin, maka bisa dibaca, peran representasi Ahmad Diran sebagai sosok Jawa-lah yang sangat berperan merengkuh suara. Jumlah pemilih yang diidentifikasi beretnis Jawa di tiga kabupaten tersebut tidak kecil, kendati bukan mayoritas. Perolehan ini menjadi penting sebagai bentuk penegasan kemenangan Teras – Diran di delapan kabupaten/kota lainnya [Barito Selatan, Barito Timur, Lamandau, Sukamara, Gunung Mas, Katingan, Palangka Raya dan Murung Raya]. Di sebagian terbesar dari delapan kabupaten-kota itu, dalam penglihatan karakter identitas, terdapat suara solid Teras Narang.
***
Kendati secara umum uraian di atas tampak bisa menjelaskan hasil pemilu kada Kalimantan Tengah, namun saya masih membuka kemungkinan bahwa penjelasan seperti itu bisa saja tidak tepat. Sekurang-kurangnya, penjelasan demikian tidak cukup. Ada sejumlah hal yang menjadi kekurangan dari penjelasan identitas model di atas. Kategori identitas Muslim dan Non-Muslim, Dayak, Banjar atau Jawa, bagaimanapun tetap saja bersifat simplistis, menyederhanakan. Seakan-akan tiap induvidu dengan serta merta akan memilih berdasarkan identitas tersebut. Penyederhanaan demikian mengabaikan sejumlah kemungkinan lain. Kemungkinan itu salah satunya adalah pengabaian bahwa rasionalitas pemilih dapat mengalahkan latar belakang identitasnya. Walau untuk membuktikannya butuh penelitian lebih jauh, namun pasti ada saja yang menentukan pilihan berdasarkan persepsi bahwa kandidat yang dipilihanya dipandang lebih visioner dan atau programnya dianggap mumpuni.
Kemudian, simplifikasi beberapa kategori identitas di atas mengabaikan kemungkinan telah terbentuknya identitas-identitas baru. Pangkalan Bun, Sampit, Palangka Raya atau Kuala Kapuas bukan kota yang terbentuk dalam satu-dua dekade terakhir. Persilangan identitas akibat kawin-mawin telah terjadi di kota-kota itu sejak beberapa dekade lalu. Generasi-generasi baru telah lahir. Dan, itu mungkin telah melahirkan rasa identitas baru karena persentuhannya dengan aneka kultur modern via interaksi dengan pendidikan, teknologi, informasi dan sekaligus juga karena sejumlah hal dari tradisi lama yang juga masih terwariskan. Ini mungkin saja membuat generasi itu tetap mendaku diri sebagai Dayak, Banjar, Muslim, Nasrani, Urang Kotawaringin atau Uluh Kalteng, dsb. Tetapi rasa atau isi dari pendakuan itu mungkin telah berbeda dibandingkan dengan pendakuan pada istilah yang sama pada masa-masa sebelumnya. Mungkin pula bagi generasi yang masih menyandang identitas Dayak, Banjar, Nasrani, Muslim, dsb., itu memiliki rasa dan pemaknaan yang berbeda dibandingkan dengan istilah serupa [Dayak, Banjar, Muslim, Nasrani, dsb] sebagaimana yang dimaksud oleh kelompok yang menggunakan istilah itu untuk kepentingan pengorganisasian suara politik dalam pemilu kada. Dan karena itu, pengorganisasian politik berdasarkan label etnis atau agama belum tentu diterima oleh generasi ini.
Singkat kata, ketika kultur politik belum massif menyentuh ranah programatik dan disertai perbincangan, debat dan diskusi yang massif di ruang publik [media massa], maka penggunaan identitas-identitas seperti di atas dengan pesan makna yang simplistis dan sempit akan selalu diandalkan sebagai cara pengorganisasian sumber daya politik. Inilah tantangan yang masih harus kita hadapi.
Bagaimana menjelaskan hasil pemilu kada itu?
Penjelasan yang paling digemari dan kerap didengar dalam pemilu kada ini adalah penjelasan yang berbasiskan identitas. Penjelasan ini mengasumsikan adanya hubungan emosional berdasarkan persepsi tentang kesamaan identitas tertentu di antara pemilih dan kandidat pasangan gubernur dan wakilnya. Pemilih dianggap akan menentukan pilihannya berdasarkan kesamaan identitas tersebut. Dari pihak kandidat-kandidat yang saling bertarung pun, strategi politik identitas tersebut sangat nyata terlihat.
Dosen Fisipol UGM, Arie Setyaningrum [2006] menjelaskan, politik identitas mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas [baik identitas politik maupun identitas sosial] sebagai sumber daya dan sarana politik. Dalam kasus pemilu kada Kalteng itu terlihat dari komposisi pasangan calon yang mengidentifikasikan diri sebagai pasangan Dayak & Jawa, pasangan Muslim atau pasangan Nasrani & Muslim. Secara verbal, misalnya, Pasangan Amur – Bahar memasang tag line “Pasangan Yang Disepakati Umat”. Sementara dalam debat kandidat yang ditayangkan Metro TV, pasangan Yuandrias – Basuki mengenakan pakaian adat Dayak dan Jawa. Yuandrias mengenakan ikat kepala yang disisipi bulu burung enggang. Sementara Basuki mengenakan blangkon dan busana sorjan khas Jawa. Ini adalah sedikit contoh yang tampak, bagaimana pengorganisasian politik identitas dilakukan.
Berdasarkan asumsi politik identitas pula, pasangan Amur – Bahar yang mengidentifikasikan dirinya sebagai representasi masyarakat Muslim diperkirakan akan mampu mengalahkan atau menyulitkan pasangan incumbent Teras – Diran sebelum pemilu kada berlangsung. Pasar suara Muslim cukup besar di Provinsi ini, mencapai lebih-kurang 70%. Tapi, mengapa Amur – Bahar hanya memperoleh 37% suara? Mungkin kita akan segera berkesimpulan bahwa pasar suara untuk Amur – Bahar sebagian terbelah untuk pasangan Ahmad Yuliansyah – Didik Salmijardi, yang juga pasangan Muslim. Tetapi, jika asumsi politik identitas agama ini tetap dipertahankan, jumlah suara pasangan Amur – Bahar dan Yuliansyah – Didik hanya berkisar 53% saja. Ke mana 17% suara Muslim lainnya?
Fakta ini tampaknya menegaskan bahwa [proyeksi] identitas, tidak definif sifatnya. Tidak juga bisa disederhanakan dengan satu asumsi dan satu penjelasan saja. Identitas yang tersandang pada orang atau kelompok tertentu tidaklah tunggal. Seseorang pada saat yang sama bisa menyandang banyak identitas, etnis, agama, daerah dengan bahasa tertentu, dsb. Dan, jikapun faktor identitas ini dianggap menentukan, maka situasi tertentulah yang akan membuat orang memilih menggunakan identitasnya sebagai salah satu faktor petimbangan dalam menentukan pilihan.
Dalam hal ini, Amur – Bahar sepertinya kurang cermat dalam memperhitungkan permainan politik identitas di Kalteng. Data di atas bisa dibaca bahwa pengasumsian Muslim dan Non-Muslim saja tidak cukup. Ada identitas lain yang harus diperhitungkan selain identitas agama semata. Etnis salah satunya. Ada tiga etnis besar di Kalimantan Tengah, Dayak, Banjar dan Jawa. Di Kalteng, pemeluk Muslim tersebar pada tiga etnis tersebut. Amur – Bahar sepertinya kurang cermat memperhitungkan etnis Jawa. Inilah satu-satunya pasangan yang komposisi identitas etnis dan agamanya sama. Sama-sama Muslim dan sama-sama mengidentifikasi sebagai Dayak. Dari pembacaan semacam ini, maka potensi suara mereka hanya datang dari masyarakat Dayak Muslim dan Banjar, yang mungkin merasa terwakili karena sama-sama Muslim. Itu pun terbukti, potensi suara tersebut tidak bisa mendekati bulat mendukung mereka.
Dugaan saya, pasangan Teras – Diran memenangkan suara dari etnis Jawa. Kendati kalah oleh Amur – Bahar di tiga kabupaten dengan suara terbesar [Kotawaringin Timur, Kapuas & Kotawaringin Barat], tapi di sana pasangan Teras – Diran memperoleh suara yang cukup besar dan signifikan bagi akumulasi perolehan suaranya. Di tiga daerah itu Teras – Diran memperoleh lebih dari 30% suara. Jika melihat representasi identitas Dayak dari sosok Teras Narang yang kurang menjual, khususnya di daerah Kotawaringin, maka bisa dibaca, peran representasi Ahmad Diran sebagai sosok Jawa-lah yang sangat berperan merengkuh suara. Jumlah pemilih yang diidentifikasi beretnis Jawa di tiga kabupaten tersebut tidak kecil, kendati bukan mayoritas. Perolehan ini menjadi penting sebagai bentuk penegasan kemenangan Teras – Diran di delapan kabupaten/kota lainnya [Barito Selatan, Barito Timur, Lamandau, Sukamara, Gunung Mas, Katingan, Palangka Raya dan Murung Raya]. Di sebagian terbesar dari delapan kabupaten-kota itu, dalam penglihatan karakter identitas, terdapat suara solid Teras Narang.
Kemudian, simplifikasi beberapa kategori identitas di atas mengabaikan kemungkinan telah terbentuknya identitas-identitas baru. Pangkalan Bun, Sampit, Palangka Raya atau Kuala Kapuas bukan kota yang terbentuk dalam satu-dua dekade terakhir. Persilangan identitas akibat kawin-mawin telah terjadi di kota-kota itu sejak beberapa dekade lalu. Generasi-generasi baru telah lahir. Dan, itu mungkin telah melahirkan rasa identitas baru karena persentuhannya dengan aneka kultur modern via interaksi dengan pendidikan, teknologi, informasi dan sekaligus juga karena sejumlah hal dari tradisi lama yang juga masih terwariskan. Ini mungkin saja membuat generasi itu tetap mendaku diri sebagai Dayak, Banjar, Muslim, Nasrani, Urang Kotawaringin atau Uluh Kalteng, dsb. Tetapi rasa atau isi dari pendakuan itu mungkin telah berbeda dibandingkan dengan pendakuan pada istilah yang sama pada masa-masa sebelumnya. Mungkin pula bagi generasi yang masih menyandang identitas Dayak, Banjar, Nasrani, Muslim, dsb., itu memiliki rasa dan pemaknaan yang berbeda dibandingkan dengan istilah serupa [Dayak, Banjar, Muslim, Nasrani, dsb] sebagaimana yang dimaksud oleh kelompok yang menggunakan istilah itu untuk kepentingan pengorganisasian suara politik dalam pemilu kada. Dan karena itu, pengorganisasian politik berdasarkan label etnis atau agama belum tentu diterima oleh generasi ini.
Singkat kata, ketika kultur politik belum massif menyentuh ranah programatik dan disertai perbincangan, debat dan diskusi yang massif di ruang publik [media massa], maka penggunaan identitas-identitas seperti di atas dengan pesan makna yang simplistis dan sempit akan selalu diandalkan sebagai cara pengorganisasian sumber daya politik. Inilah tantangan yang masih harus kita hadapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar