Di antara tiga capres 2009, barangkali Joseph Kalla, eh Jusuf Kalla [JK] yang paling tahu perkembangan olahraga tanah air. Apa lagi untuk urusan sepak bola. JK pernah punya pengalaman sebagai pemilik Makassar Utama [MU], klub anggota kompetisi Galatama, sebelum menjadi Liga Indonesia [Ligina]. Ia juga pernah menjadi pengurus PSM Makassar. JK menakhodai MU selama 10 tahun. Klub yang berkompetisi di Galatama, meski berstatus semiprofesional, umumnya didanai secara mandiri, tidak bergantung pada anggaran pemerintah. Ini berbeda dengan klub Liga Super saat ini, yang diberi status profesional, tapi sebagaian besar bergantung pada dana pemerintah. Dengan mengeluarkan sejumlah dana [sekarang nilainya minimal Rp 10-15 M, untuk mengarungi satu musim kompetisi] untuk mengelola klub, JK dapat dikategorikan orang yang lebih dari cukup untuk disebut pecinta olah raga. Lebih-lebih, dalam iklim Indonesia, olahraga masih jauh dari level industri, di mana karena itu, pemodal tak bisa berharap banyak akan profit finansial darinya.
Sayangnya, semua itu, tak lantas membuat JK terlihat hebat di mata saya ketika menjawab pertanyaan tentang masalah olahraga, dalam kapasitasnya sebagai calon presiden [capres].
Itu semua terlihat dalam acara Open House di Metro TV, yang menghadirkan Capres JK untuk berbicara tentang olahraga, tayang Minggu malam kemarin. Sejumlah isu utama olahraga, seperti kerusahan suporter, kesejahteraan mantan atlet, peningkatan prestasi, fasilitas olahraga sampai ke masalah hubungan olahraga dan politik dijawab JK, yang dalam penilaian saya biasa saja.
Menanggapi isu kerusahan suporter, JK berbicara dengan sudut pandang lebih pada persoalan suporter sebagai biang kerusuhan. JK kurang mengelaborasi peran aparat keamanan dalam kelancaran suatu partai olahraga. Tentu saja, upaya serius membangun kultur suporter yang beradab dari internal suporter teramat penting dilakukan. Tapi, ini tidak cukup tanpa peran aparat keamanan. Menciptakan kultur suporter baru yang beradab mustahil tanpa aparat keamanan.
Fenomena rusuh suporter bukan milik ekslusif bangsa ini. Kerusuhan suporter umum terjadi di mana pun. Dalam setiap kerumunan massa, apa pun dapat terjadi. Persoalannya, bagaimana potensi rusuh itu dideteksi dan diantisipasi sedini mungkin. Tentu saja ini adalah ranah aparat keamanan. Aparat bukan hanya berperan secara represif, bertindak ketika kerusuhan telah pecah. Secara teori, tentu saja, aparat keamanan sangat tahu hal ini. Dan secara teknis, aparat keamanan yang paling mengerti bagaimana ini dikerjakan. Namun, dalam banyak kasus seperti yang kita lihat dalam partai-partai Liga Indonesia, antisipasi aparat terhadap potensi kerusuhan terkesan tidak serius. Banyak aparat di dalam stadion justru turut menikmati tontonan di lapangan ketimbang memperhatikan gerak-gerik suporter. Mereka pikir, selagi bisa nonton gratis kalee....Ini berbeda jika kita bandingkan dengan bagaimana aparat bekerja di liga-liga luar negeri. Kita sering menyaksikan aparat keamanan membelakangi lapangan sepak bola, memperhatikan ulah penonton di tribun.
Parahnya, aparat keamanan belakangan ini cenderung menyalahkan suporter, tanpa menyadari bahwa ada peran mereka yang juga incorrect. Aparat keamanan sering kali menunjukkan kekuasaannya, dengan melarang atau tidak mengizinkan digelarnya suatu pertandingan. Kadang-kadang, alasan masalah keamanan yang menyebabkan dilarangnya sebuah pertandingan, itu tidak jelas indikatornya. Jadinya, terkesan bahwa mereka ingin lepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai pelayan segala aktivitas masyarakat.
Kesewenang-wenangan aparat seperti itu, kian terlihat di beberapa daerah [Jawa Tengah, Jawa Barat dan DKI Jakarta] pada musim pemilihan umum ini. Dengan alasan demi kelancaran pemilu, Kapolda Jawa Tengah, Jawa Barat dan DKI Jakarta, melarang pertandingan Liga Super Indonesia dilangsungkan di daerahnya. Yang paling parah adalah DKI Jakarta. Sampai dengan tulisan ini dibuat, klub dari DKI Jakarta, Persija dan Persitara dilarang tampil di kandangnya sendiri. Dalam hal ini, olahraga telah dirugikan oleh aktivitas politik.
Lantas, bisakah politik dalam arti sebuah proses pemberian otoritas kepada orang atau kelompok tertentu secara legitimate [via pemilu demokratis] dapat menghasilkan kebijakan yang menggembirakan bagi dunia olahraga? Rasanya, jangan terlalu tinggi berharap. Ketika seorang The Jak Mania, suporter Persija, menyodorkan keluhannya tentang Persija yang menjadi korban politik pemilu dan meminta apakah ke depan ada jaminan hal ini tak terulang, jawaban JK tak memuaskan. Intinya, JK berpendapat, seperti disebutkan di atas, jika suporter tak bermasalah pastinya tak ada masalah keamanan seperti ini.
Selain problem profesionalitas aparat ketika bertugas di arena pertandingan, juga harus ditinjau ulang otoritas aparat kepolisian. Akhir-akhir ini, mereka tampil sebagai penentu boleh-tidaknya suatu pertandingan digelar. Saya kira, perkenan atau pelarangan suatu aktivitas kemasyarakat, termasuk olahraga, merupakan keputusan politik, bukan ranah aparat keamanan. Aparat keamanan adalah perangkat dari sistem politik dan ia harus tunduk dan melaksanakan sebuah keputusan politik. Tentu keputusan politik yang diharapkan, bersifat bijaksana. Untuk itu, keputusan politik harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk potensi ancaman keamanan. Tetapi, keputusan akhir tetap pada pejabat politik. Di Italia, ketika terjadi rusuh suporter klub-kub Serie A, keputusan pelarangan pertandingan, ada pada walikota, tempat sebuah klub berada.
Sayang sekali, JK tidak sejauh itu memahami hubungan olahraga dengan suporter, aparat keamanan sampai perihal politik.
Ditanya soal kesejahteraan dan masa depan atlet, JK menjawab, atlet yang berprestasi, memiliki medali di ajang internasional [Olimpiade dan Asian Games], akan diberikan jaminan masa depan. Berbicara soal ini, JK juga membanggakan bahwa ia turut andil dalam memberikan jaminan pekerjaan bagi sejumlah atlet berprestasi ke dalam ranah birokrasi. Sebenarnya, kebijakan model menyisipkan atlet ke ranah birokrasi bukan tanpa kelemahan. Birokrasi memiliki logika dan kepentingannya sendiri. Ia membutuhkan aparat yang kompeten dan kerja yang efisien. Akan menjadi soal jika, misalnya, atlet sekadar disisipkan ke birokrasi, tanpa mempertimbangkan kompetensi dan atau kebutuhan masyarakat yang dilayani oleh birokrasi, sebagai syarat utama. Poin penting yang mesti diperhatikan, atlet yang telah mengharumkan nama negeri, pantas diganjar hadiah dan dijamin kehidupannya. Persoalannya, bagaimana cara membalas jasa atlet tersebut dengan tanpa mengabaikan persoalan lain, semisal birokrasi tersebut. Bukannya apa-apa, publik sangat mengerti bahwa birokrasi di negeri ini masih bermasalah, baik dalam soal kompetensi, efisiensi dan kualitas pelayanan.
Kemudian, ditanya hal yang terpenting dalam olahraga, masalah peningkatan prestasi dan belum merata dan memadainya sarana prasarana olahraga, JK memberikan jawaban yang secara umum sering dikemukakan pejabat publik di negeri ini, yakni terbatasnya anggaran. Politik anggaran memang menjadi salah satu faktor terpenting, bukan hanya di bidang olahraga. Namun, dengan pengelolaan olahraga yang tepat, problem keterbatasan anggaran bisa disiasati. Alih-alih memiliki manajemen olahraga yang oke, yang justru kerap terdengar adalah ribut-ribut soal rebutan jabatan pengurus organisasi induk cabang olahraga atau ribut-ribut tentang tumpang tindih kewenangan, seperti pada kasus KONI dan Menegpora dalam hal pengelolaan Program Atlet Andalan, yang entah mengapa, disingkat dengan PAL itu.
Sekali lagi, JK tidak mengelaborasinya sampai ke sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar